Bogor | Sengketa kepemilikan empat pulau kecil di ujung barat Indonesia kembali memantik perdebatan serius. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—yang selama ini diyakini sebagai bagian dari wilayah Aceh—kini secara administratif dinyatakan masuk ke wilayah Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2L38 Tahun 2025. Sebuah keputusan yang langsung memicu gelombang penolakan dari Pemerintah Aceh, masyarakat adat, dan komunitas nelayan Aceh Singkil.
Sengketa ini bukan hanya soal batas administratif, tetapi juga menyangkut eksistensi sejarah, identitas sosial, dan hak-hak masyarakat lokal yang selama puluhan tahun telah bermukim dan menghidupi pulau-pulau tersebut. Ketika pemerintah pusat memilih menyederhanakan konflik ini lewat pendekatan teknokratik, justru yang dikhianati adalah rasa keadilan.
Pulau-pulau tersebut bukan sekadar titik koordinat dalam peta. Mereka adalah rumah adat, tempat berlabuh kapal nelayan, situs ibadah, dan simbol sejarah panjang interaksi manusia dan budaya. Pemerintah pusat seolah menutup mata terhadap dokumen sejarah seperti surat Kepala Inspeksi Agraria Aceh tahun 1965 yang mencatat secara resmi kepemilikan warga Aceh atas pulau-pulau tersebut. Bahkan keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Aceh sejak tahun 2017 hingga 2020 tidak mendapatkan respons serius.
Mirisnya, tidak ada satu pun bentuk pelayanan publik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah terhadap wilayah tersebut. Tidak ada sekolah, tidak ada pusat kesehatan, bahkan tidak ada pengakuan sosial atas aktivitas masyarakat di sana. Ironisnya, pemerintah justru menggambar ulang peta tanpa benar-benar hadir di tanah itu.
Langkah pemerintah pusat dalam menerbitkan keputusan sepihak ini menimbulkan kekhawatiran serius. Bila konflik ini tidak dikelola secara bijak, maka dampaknya tidak hanya pada nelayan atau masyarakat adat, melainkan juga pada legitimasi negara di mata rakyatnya. Ketika masyarakat merasa diabaikan, maka erosi kepercayaan terhadap negara menjadi konsekuensi yang tidak bisa dihindari.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh secara jelas semestinya menjadi rujukan utama dalam menetapkan batas wilayah. Maka menjadi pertanyaan besar ketika keputusan Mendagri justru bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi secara hirarki. Dalam tata negara yang sehat, hukum tak boleh dijalankan hanya berdasarkan berita acara rapat teknis semata, melainkan harus mengakar pada konstitusi, sejarah, dan realitas sosial.
Pemerintah pusat perlu mengambil langkah korektif. Audit ulang terhadap dokumen historis dan sosial sangat mendesak dilakukan. Dialog multipihak yang terbuka dan partisipatif juga harus segera digelar, melibatkan Pemerintah Aceh, Pemerintah Sumatera Utara, tokoh adat, akademisi, serta masyarakat sipil. Yang tak kalah penting, pendekatan yang digunakan harus berorientasi pada keadilan restoratif—bukan hanya legal formalisme kering.
Empat pulau itu mungkin kecil di atas kertas, tetapi besar maknanya bagi rasa keadilan rakyat Aceh. Di tengah tantangan persatuan bangsa yang terus diuji, kepekaan negara terhadap suara daerah akan menentukan kuat tidaknya pondasi kebangsaan kita.
Jika negara abai terhadap luka kecil di ujung barat, maka retaknya bisa menjalar ke seluruh tubuh republik. Maka jangan biarkan garis batas menjadi pemisah rasa keadilan. Karena keadilan yang tidak dirasakan satu daerah, akan menggerus keutuhan seluruh bangsa.
Oleh: Muhammad Risky Munandar
Ketua Umum HMI Cabang Bogor Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan, dan Pemuda
Eksplorasi konten lain dari Palapatvnews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.