Bogor, 1 Juni 2025 | Perkumpulan warga yang tergabung dalam Karukunan Wargi Puncak (KWP) secara resmi mengajukan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia terkait penghentian layanan angkutan umum di sejumlah wilayah Puncak, Bogor, yang dinilai merugikan hak masyarakat lokal dan tidak berbasis kajian mendalam.
Penghentian operasional angkutan umum jurusan Bogor – Cibedug, Bogor – Pasir Muncang, dan Bogor – Citeko terjadi secara bertahap sejak Maret hingga Mei 2025. Keputusan tersebut diduga merupakan arahan dari Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor, dengan dalih untuk mengurai kemacetan di kawasan Puncak.
Namun bagi warga lokal, kebijakan ini justru menjadi bencana baru.
”Kebijakan publik yang tidak berbasis data dan kajian sosial hanyalah instrumen penindasan baru,” tegas perwakilan KWP dalam pernyataan tertulis.
”Kami kehilangan akses mobilitas, padahal bukan kami sumber utama kemacetan.”
Bukan Angkutan Umum yang Menyumbat Puncak
KWP menilai narasi yang menyudutkan angkutan umum sebagai biang kemacetan adalah keliru. Menurut mereka, volume kendaraan pribadi dari luar daerah khususnya wisatawan merupakan penyumbang utama kemacetan di jalur Puncak, terutama pada akhir pekan dan libur panjang.
“Alih-alih menyasar akar masalah, kebijakan justru jatuh sebagai palu godam ke kepala masyarakat lokal,” tambah pernyataan tersebut.
Dampak nyata dari kebijakan ini sangat dirasakan warga. Banyak yang harus berjalan kaki hingga beberapa kilometer, menunggu tumpangan tidak pasti, atau mengandalkan ojek mahal untuk aktivitas sehari-hari. Bagi sebagian warga lansia, anak sekolah, dan pekerja informal, kondisi ini tidak manusiawi dan melanggar hak dasar atas layanan publik.
Kebijakan dari Balik Meja
Dalam dokumen pengaduan yang diajukan ke Ombudsman RI, KWP menyoroti absennya kajian sosial dan dampak lapangan sebelum kebijakan tersebut diberlakukan. Hal ini dinilai melanggar prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana tertuang dalam Pasal 138 dan 139 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
”Sayang sekali, kebijakan publik kadang lebih cepat ditandatangani daripada dipikirkan,” tulis KWP dalam rilisnya.
”Seandainya kebutuhan warga dianggap sepenting pencitraan lalu lintas wisatawan, mungkin kami tidak perlu berjalan kaki demi sekadar hidup.”
Tuntutan dan Harapan
Melalui pengaduan ini, KWP menuntut agar:
1. Pelayanan angkutan umum segera dipulihkan.
2. Setiap kebijakan transportasi dievaluasi secara transparan dengan melibatkan masyarakat terdampak.
3. Pemerintah daerah dan pusat menyusun solusi berbasis data dan keadilan sosial, bukan sekadar kenyamanan wisatawan.
KWP menutup rilis dengan ajakan reflektif: “Apakah keadilan hanya berlaku bagi yang membawa pelat luar kota? Apakah warga lokal harus terus berjalan kaki agar orang lain bisa menikmati jalan yang lengang?”
Eksplorasi konten lain dari Palapatvnews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.